
Penutup kitab Ghayatul Wushul karya Syaikhul Islam Abu Yahya Zakariyya al-Anshari (823–926 H) bukan sekadar bagian akhir dari sebuah karya ilmu ushul fiqh. Ia adalah simpulan ruhani yang menyingkap arah dari seluruh perjalanan intelektual dan spiritual sang ulama besar ini. Setelah membahas fondasi akal dan dalil, beliau menutup dengan “خاتمة فيما يذكر من مبادىء التصوف” penutup tentang prinsip-prinsip dasar tasawuf.
Hal ini menunjukkan bahwa bagi Zakariyya al-Anshari, puncak ilmu adalah penyucian hati. Sebab ilmu tanpa hati yang bersih hanya akan menjadi beban pengetahuan, bukan cahaya petunjuk. Maka beliau memulai penutupnya dengan mendefinisikan tasawuf sebagai “tajrid al-qalb lillah wa ihtiqār mā siwāh” mengosongkan hati hanya untuk Allah dan merendahkan segala sesuatu selain-Nya. Itulah tauhid dalam bentuk rasa; tauhid yang hidup di dalam batin, bukan sekadar dalam logika.
Zakariyya al-Anshari juga menjelaskan bahwa inti dari perjalanan sufi adalah meninggalkan pilihan pribadi (ترك الاختيار) dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Inilah maqam ridha — sebuah puncak di mana seorang hamba tidak lagi menentang takdir, melainkan melihat kasih Allah dalam setiap peristiwa. Ia mengutip hadits “الحج عرفة” sebagai analogi bahwa setiap maqam memiliki poros utamanya; sebagaimana inti haji adalah wukuf di Arafah, maka inti tasawuf adalah penyerahan hati kepada Allah.
Dari sini, beliau memadukan tasawuf dan ushul fiqh dalam satu kesatuan: yang pertama menata hati, yang kedua menata amal. Karena itu ia membuka penutupnya dengan kalimat: “أول الواجبات المعرفة” kewajiban pertama bagi setiap mukallaf adalah mengenal Allah. Pengetahuan ini bukan sekadar hasil berpikir, tapi buah dari hati yang tunduk. Dengan mengenal Allah, seseorang akan memahami bahwa hidayah dan kesesatan, kedekatan dan kejauhan, semuanya berada dalam genggaman-Nya. Maka lahirlah rasa takut dan harap (khauf wa raja’), yang mendorong manusia untuk menaati perintah dan menjauhi larangan.
Zakariyya al-Anshari kemudian mengaitkan hal itu dengan hadits Qudsi yang diriwayatkan Imam al-Bukhari:
«وما يزال عبدي يتقرّب إليّ بالنوافل حتى أحبّه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به، وبصره الذي يبصر به، ويده التي يبطش بها، ورجله التي يمشي بها، وإن سألني أعطيته، وإن استعاذ بي لأعيذنه».
“Masihlah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya, dan kakinya...”
Hadits ini menjadi landasan bahwa cinta Allah bukan hadiah yang datang tiba-tiba, melainkan hasil perjalanan panjang seorang hamba dalam ketaatan, keikhlasan, dan pengendalian diri.
Beliau kemudian menasihati pembaca agar berjiwa tinggi (علو الهمة) mengangkat dirinya dari urusan-urusan rendah menuju akhlak mulia seperti sabar, tawadhu’, dan husn al-khuluq. Sebab, Allah mencintai “معالي الأمور ويكره سفسافها” hal-hal yang tinggi dan membenci perkara remeh. Ini bukan hanya seruan moral, tapi refleksi sufistik: semakin tinggi cita-cita ruhani seseorang, semakin ringan baginya dunia dan isinya.
Di bagian akhir, beliau mengingatkan tentang taubat, yang hakikatnya adalah penyesalan karena melanggar kehendak Allah, bukan sekadar karena dampak dosa. Menurutnya, taubat sejati mencakup penyesalan, berhenti, tekad untuk tidak mengulangi, dan menunaikan hak yang terlanggar. Bahkan jika seseorang mengulangi dosanya, taubat sebelumnya tetap sah; dosa baru hanya menambah kebutuhan untuk kembali bertobat. Ini menunjukkan betapa rahmat Allah lebih luas daripada jatuhnya manusia.
Menariknya, Zakariyya al-Anshari juga menutup dengan pembahasan tentang qadar dan usaha (kasb), menjembatani antara ekstremitas kaum Jabariyah dan Mu’tazilah. Menurutnya, manusia memiliki kemampuan berusaha (kasb), namun kekuasaan penciptaan sepenuhnya milik Allah. Dengan kata lain, manusia berjalan di antara takdir dan tanggung jawab sebuah keseimbangan yang hanya dapat dicapai oleh hati yang mengenal Tuhan.
Dan akhirnya, beliau menutup kitabnya dengan doa penuh kerendahan:
“وقد تمّ الكتاب بحمد الله وعونه جعلنا الله به مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصدّيقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقًا.”
Sebuah doa yang mengandung makna mendalam, bahwa ilmu bukan untuk kebanggaan, melainkan untuk menjadi bekal perjalanan menuju Allah bersama para kekasih-Nya.
Oleh: Muh. Fadhil Alwi
Kelas: 3 PDF Ulya
Daerah: Mumtaz 103
Alamat: Petoosang, Polewali Mandar